-->

(CERPEN) SELIMUT DALAM KABUT

Design image from canva

Gedebuk!

Lagi-lagi tas hitam itu dibanting. Di sisi lain, tak mau kalah, giliran gelas dan piring-piring yang menjadi objeknya. Melayang begitu saja disertai teriakan keras dari seorang ibu. Sang ayah pun begitu besar egonya. Tak ada lagi contoh teladan yang baik, ia selalu bersikeras menang dari pemandangan setiap pagi hari. Keharmonisan keluarga ini seakan telah hilang, entah sudah sejak beberapa bulan yang lalu. Pertikaian kini menjadi sarapan pagi yang selalu mereka sajikan.

Berbeda halnya dengan putri semata wayang mereka. Rina Mayang Sari! Gadis cantik nun ramah ini telah menginjak usia kedua puluh tiga. Ia baru saja menamatkan pendidikan agamanya kisaran enam bulan yang lalu. Jauh berbeda dengan perempuan sebayanya, ia tak ada cita-cita untuk meneruskan studi ke jenjang perkuliahan. Kalau mau, ia bisa saja mendaftar ke universitas yang dipilih. Namun ia berkeyakinan, jika di pondok pesantrennya dulu telah cukup sebagai bekal untuk menjadi landasan dasar di hari tuanya.

Perlahan hangatnya sinar surya menerobos melewati celah-celah jendela kamar yang terbuka lebar, ayah dan ibu masih asyik dengan pertunjukan konser pertikaian yang mereka buat. Rina tak berani keluar kamar. Masih terbalut rukuh yang dikenakan seusai salat subuh tadi, ia termenung. Jelas di dalam kepalanya tak lagi sesuai dengan putaran tasbih yang digenggam.

Ia tak memiliki kekuatan untuk membela ibunya, sebab sang ayah terlalu keras untuk seorang yang berani menyinggungnya. Ia paham, pemandangan menyayatkan hati ini nantinya pasti akan berakhir sejenak. Hingga ayah pergi dari rumah dengan tas hitam yang selalu dibawa, sampai tengah malam di kala ayah datang dalam keadaan setengah sadar.

Debat kusir dua insan yang tak lain adalah orang tua kandungnya sendiri masihlah berlangsung. Ia tetap terdiam. Melamun kosong, menangkap frame pohon besar yang berada tepat di luar jendela. Alih-alih ia tersenyum dengan senyuman manis yang telah lama tak bertamu di wajahnya. Kini senyum manis itu pun terhujani linangan hangat air matanya. Pikirannya terombang-ambing dalam kenangan masa lalu nun indah.

"Ade ...! Rina ...! Ke sini sebentar, Nak ...!"

"Iya, Bu ...," jawabnya sambil terengah-engah. Ia berlari menghampiri ibunya yang berada di kamar.

"Ada apa, Bu? Kok kelihatannya penting sekali?" Sembari mendekati ibunya.

"Enggak! Ibu cuma kangen sama kamu. Kamu kan kalau liburan cuma setahun sekali." Ibunya tengah memandangi lembar per lembar album foto yang dirangkul erat.

Image by Canva

"Ini siapa, Bu?" tanyanya manja dengan kepala yang disandarkan di bahu sang ibu.

"Itu kamu, Rin ...." Segambar foto anak kecil terlihat menggemaskan dengan tawa riangnya.

"Kok Rina gendut kayak bakpau gitu? Mukanya mirip ibu. Ah, berarti ini ibu, dong ...! Bukan Rina!" tanyanya begitu pangling dengan wajah kecilnya.

"Ya, memang muka kamu itu mirip ibu, Rina ...."

"Tapi kok Rina gembul gitu sih, Bu? Sekarang kelihatannya Rina ramping banget kok," timpalnya lagi dengan manja.

"Waktu kecil, ibu juga gitu, sayang. Akhir-akhir ini aja ibu kelihatan agak ramping."

"Itu pas Rina umur berapa ya, Bu? Kok gemesin gitu, ya? Imut. Enggak kalah sama Rina yang sekarang," tanyanya lagi menambah hangat rangkulan ibu dengan tertawa kecil.

"Ehmm ... kira-kira dua belas tahun lalu dari sekarang." Sang ibu menoleh ke arah perempuan hebat yang paling disayanginya itu. Lantas, ibu memeluk erat anak kesayangannya.

Tenggelam dalam hangat dekapan sang ibu, Rina pun tersenyum.

Ibu yang tampak jelas kedua bola matanya sudah tak kuat menampung haru yang alih-alih mengalir hangat. Dengan lirih ibu berbisik di telinganya, "Sayang ..., kamu mondok yang sukses, ya ...! Di sana jangan lupa doakan Ibu dan Ayah. Kami ini nggak minta apa-apa dari kamu, Rina .... Kamu mau mondok saja, sudah membuat kami bahagia."

Lebih dari satu jam terlewati. Entah album foto ke berapa yang sekarang mereka bicarakan satu per satu gambar demi gambarnya.

"Bu, itu ayah?"

"Iya, itu ayah. Ganteng, ya? Nggak kalah ganteng dengan sekarang," sela ayah dengan senyum simpul yang rupanya telah berdiri di bibir pintu.

"Lho ...! Ayah udah pulang?" sahut ibu sembari beranjak menuju suaminya.

"Udah dong, Bu. Kalau belum pulang, masa udah sampai di sini?" timpalnya sambil meraih sodoran tangan ibu.

"Lagi liat apa sih? Ayah ikutan, ya ...! Kita ulangin dari awal." Saran ayah menggandeng putrinya ke dalam kamar.

"Yah! Ibu siapin makan dulu, ya."

"Iya, boleh ...."

Sekeping kenangan tersebut membuatnya terbuai dalam derasnya isak tangis di pagi yang hangat ini. Bisingnya kicauan burung tak mampu 'tuk mewarnai kelam hatinya. Awan yang mengganjal di batinnya hanya berisi kabut yang menghalangi sorot hangat keharmonisan keluarga.

Dalam munajatnya, ia berbisik pada Sang Pencipta. Bersujud rapuh di hadapan Sang Maha Kuasa. Tak lagi ada pengobat jiwa saat ini kecuali Rabb-nya. Ringkuh mulut bergetar meminta ampun untuk kedua orang tua. Banjir air mata yang tak terbendung, keringat dingin yang juga membasahi sekujur tubuh, serta dengan sekuat jiwa, ia berucap dengan lirih seraya menengadahkan kedua belah tangannya.

"Robbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo."

****

Penulis: Ayub Kumalla
Penyunting Naskah : Princess Meymey

0 Response to "(CERPEN) SELIMUT DALAM KABUT"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel