-->

Hujan di Penghujung Januari

Dokumentasi Pibadi


Semburat senja tak hadir di sore pada penghujung Januari itu. Sama halnya dengan matahari yang enggan menampakkan sinarnya sedari siang tadi. Awan hitam yang menyelimuti hamparan semesta, hujan pun tak mau kalah unjuk diri. Genangan air di jalanan menambah kemacetan lalu lintas, belum lagi hari itu adalah hari Sabtu di mana beragam manusia keluar dengan beragam aktivitasnya. Ada yang bergegas pulang setelah merelakan satu hari weekend-nya dengan pekerjaan kantor, ada yang masih wara-wiri di seputaran area kampus dengan jadwal perkuliahan, ada yang sudah atau still on the way menghabiskan weekend, ada yang terburu-buru mengendarai kendaraannya untuk pulang kampung melepas rindu dengan anggota keluarga di rumah, ada yang sibuk menjajaki warung-warung tenda pinggir jalan mencari menu makanan dan minuman yang sesuai dengan lidah mereka, dan beragam manusia dengan aktivitas lainnya.
Intan, seorang karyawati di salah satu perusahaan tour and travel berada di kerumunan manusia yang ada di jalanan itu. Menerobos hujan dengan sepeda motor orange kesayangannya menuju salah satu perumahan di kota Bandar Lampung, tempat di mana ia tinggal saat ini.
Sesuatu yang tak biasa nampak di pandangan mata Intan saat memasuki gerbang perumahan. Beberapa orang sedang menurunkan barang-barang di salah satu rumah di blok A, mungkin ada penduduk baru di perumahan. Seorang laki-laki yang nampak tak asing berkelebat dibalik kaca helm yang dikenakan. Hanya sekilas ia memandang, seperti tak asing dan laki-laki itu pun tersenyum padanya, tetapi ia fokus pada kemudi.
“Ahh, finally I’m home. Lelah ini, hari ini, akhir Januari ini, awan hitam di luar sana, ah .... Eh, siapa laki-laki yang wajahnya nampak dekat diingatanku tadi ya? Ia juga senyum, tapi siapa?” gumam Intan sembari mengingat kejadian barusan.
Baru juga ia akan merebahkan tubuh di sofa, pintu rumahnya bergetar karena ketukan dari seseorang yang datang. Wajah sahabatnya, Winda, muncul dibalik pintu.
“Lho, Win, kok kamu masih di rumah, bukannya kemarin bilangnya hari ini mau pulang kampung ke Liwa?”
It’s been canceled. Ada yang lebih penting dari gagalnya kepulangan aku hari ini. Kamu masih inget Trion kan?”
Seketika kening Intan mengernyit tanpa dikomando mendengar nama Trion disebut.
Trion, satu-satunya laki-laki yang pernah menjadi sahabatnya sekaligus satu-satunya laki-laki yang mengukir kegetiran di hatinya. Trion adalah sahabat Intan dan Winda sejak mereka kuliah. Intan adalah seorang gadis yang mudah kenal dengan orang lain, tetapi ia bukan orang yang mudah menerima orang lain dan membawanya ke dalam hati. Beruntungnya, Trion adalah satu-satunya laki-laki yang mampu membuat Intan membuka dan membawanya ke hati, sama seperti ia menerima Winda dalam hatinya, menerima mereka berdua sebagai sahabat terdekat dan orang yang begitu ia percayai. Namun kepercayaannya pada Trion hilang bersama dengan hujan di penghujung Januari, empat tahun silam.
“Trion, aku tidak melupakannya tapi juga tidak mengingatnya. Ada apa?”
“Dia ada di sini. Dia nempatin rumah blok A no 1. Baru pindahan siang tadi. Aku baru tahu sore tadi sepulang dari klinik.”
Kabar dari Winda makin menohok perasaan Intan.
“Jadi yang tadi lihatin aku sambil senyum itu Trion.”
“Kamu tahu Trion pindah ke perum kita? Jadi selama ini kamu udah komunikasi lagi sama Trion? Kok nggak kasih tahu aku?”
Membisu adalah jawaban Intan, tak ingin membuat Winda semakin bersemangat menodong dengan ribuan pertanyaan.
***
Minggu pagi adalah jadwal rutin Intan dan Winda untuk olahraga, biasanya mereka lari pagi di area GOR dekat perumahan mereka. Rutinitas mereka berlanjut dengan sarapan lontong sayur bude Jum, lalu pergi ke pasar berbelanja untuk mengisi kulkas seminggu ke depan.
Seorang laki-laki sudah menunggu di depan gerbang rumah Intan. Ya, ia adalah Trion, tetangga baru perum yang kemarin sore menjadi perbincangan Intan dan Winda.
“Halo, Intan! Halo, Winda! Apa kabar? Perkenalkan, aku Trion tetangga baru di A1.” Trion memperkenalkan dirinya seolah mereka baru pertama kali bertemu.
“Tetangga baru, tapi sudah tahu nama kami berdua ya? Ada apa kamu ke sini?” respon Winda menjawab basa-basi Trion.
“Sebelumnya aku minta maaf, kalian pasti tahu maaf untuk apa. Tapi aku di sini dengan niat baik, untuk memperbaiki hubungan kita bertiga,” jelas Trion.
Tak ada respon sedikit pun dari Intan, lekas ia membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah diikuti Winda dan Trion.
“Aku tidak tahu apa ini sebuah kebetulan atau bukan, aku pun tidak tahu alasan apa yang membuatmu pindah ke sini. Aku tak ingin menduga-duga. Tapi, aku ingin tahu apa alasanmu pagi ini berdiri di depan rumahku, tetangga baru?” Intan membuka pembicaraan.
“Rupanya kau masih mengingatku walaupun empat tahun sudah kita tak jumpa.”
“Aku tidak melupakanmu, tapi juga tak mengingatmu.”
“Kamu pasti tahu Angga B5, dia adalah rekan kantor ku. Awalnya aku tak tahu kalian tinggal di perum ini. Aku hanya sedang mencari tempat tinggal baru setelah dimutasi dari Jakarta ke Lampung, lalu Angga menawarkan untuk menempati A1 yang masih kosong. Seminggu yang lalu, aku melihat Angga memposting foto saat acara ulang tahun anaknya, dan kamu ada di dalam foto itu menjadi tamu undangan. Kutanyakan lagi pada Angga, dan ternyata itu memang kamu, Intan. Kamu juga ada di foto itu Winda. Kalian ada di sana.”
“Lalu?” Kali ini Winda yang memberi respon.
“Selama empat tahun berlalu, bukan aku tidak ingat kalian, apalagi kamu, Intan. Bahkan aku masih dibayangi dengan rasa bersalah. Sampai aku meminta mutasi ke Lampung dan berniat untuk mencari kalian dan meminta maaf. Apakah kamu mau memaafkanku, Intan? Juga kamu Winda? Jika ada kesempatan kedua untukku ....” Belum selesai Trion bicara, Intan langsung memotong pembicaraannya.
“Aku sudah memaafkanmu, tapi untuk kesempatan kedua aku tidak tahu,” jawab Intan.
“Kalau saja saat itu aku ...,” ucap Trion memelas.
“Tolong, jangan membuka luka yang sudah aku tutup. Memaafkanmu adalah hal paling sulit yang pernah aku upayakan, kalau bukan karena bijaknya nasihat Winda dan ah ... sudahlah ...! Tapi aku berterima kasih padamu yang telah memberiku pelajaran berharga, untuk lebih berhati-hati memberikan hati dan kepercayaan pada orang lain. Aku tidak akan pernah belajar semua itu kalau kamu tak memberi pengkhianatan juga kekejamanmu dan ayahmu pada kedua orang tuaku.”
“Aku tahu itu sulit bagimu Intan, apalagi dengan kehilangan orang tua yang menjadi semangat hidup. Maafkan aku karena aku malah lari darimu saat itu, aku tidak tahu rasanya sampai kehilangan sosok ibu setahun lalu.”
Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun,” kata Winda yang turut berduka cita.
“Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu. Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi untuk kesempatan kedua, aku tidak tahu. Jika mungkin ada, sulit bagiku untuk bisa kembali percaya padamu, karena aku tak bisa lagi menaruh rasa percaya pada siapa pun. Hanya waktu yang mungkin dapat menjawabnya dan sesuatu yang menggerakkan hati untuk menerimamu kembali,” jelas Intan.
Keduanya membisu, tak tahu harus apalagi. Bahkan Winda yang sedari tadi lebih banyak mendengarkan juga ikut terdiam. Mampukah waktu menjadi obat untuk menyembuhkan luka?


Bandar Lampung, 24 Juli 2018

Penulis : Rismania Susanti
Editor : Irma Dewi Meilinda

2 Responses to "Hujan di Penghujung Januari"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel