-->

MEMBACA “LURUH” SEBAGAI TERAPI PATAH HATI

Membaca “Luruh”
sebagai Terapi Patah Hati
oleh Ayub Kumalla


Menulis merupakan salah satu bentuk atau cara dalam mengekspresikan ide, gagasan, dan perasaan. Banyak sekali alasan seseorang menulis. Ada yang ingin dikenal, ada yang sekadar ingin unjuk gigi, ada pula yang menulis tanpa alasan yang jelas atau lagi pengin saja.

Di dalam psikologi, kegiatan menulis ini merupakan salah satu bentuk katarsis; baik yang sangat dianjurkan seseorang, terlebih bagi orang-orang yang sedang dilanda ketegangan, kecemasan, ataupun patah hati.

Membaca buku “Luruh” karya Mujahid Berpena dan Atsuka D. mengingatkan saya pada definisi puisi dari kebanyakan orang pada umumnya. Mereka bilang, bahwa puisi adalah rasa paling dalam yang dituliskan oleh penyairnya dalam bentuk kalimat-kalimat puitis yang saling merangkul dan terpaut satu sama lain. Dalam kata tersebut, banyak tersimpan elegi, rasa, kasih, pedih, dan pelbagai macam bentuk kata yang berasal dari sanubari dan pikiran-pikiran penyair.

Sejak zaman dahulu, puisi hidup dan ditulis oleh pelbagai orang dengan pelbagai macam bentuk dan tema. Awalnya puisi berupa mantra dan doa-doa, lalu menjadi jampi-jampi yang berdaya magis—berisi pujian dan sanjungan untuk yang Maha Kuat di luar sana—yang tidak bisa dipahami oleh manusia secara kasat mata.

Kemudian puisi terus berkembang menjadi luas, bahkan berubah menjadi bentuk yang satu dengan yang lainnya. Lalu sebagian melebur bersama prosa yang sering disebut sebagai puisi prosa atau prosais. Sebagian yang lain menjadi gambar-gambar atau simbol-simbol konkret yang menyimpan banyak pesan tersembunyi. Begitulah puisi. Ia seolah hidup dan tidak pernah mati oleh perkembangan zaman.

Dari sekian banyak jenis dan tema puisi, ada dua tema yang paling banyak ditulis dan dibuat oleh penyair. Tema-tema ini seolah tidak pernah mati dan malah terus bertumbuh sampai ke zaman modern ini. Siapa saja boleh suka, menikmati dan ikut merasakan tanpa ada batas penghalang, yakni tema elegi dan romansa.

Puisi-puisi bertemakan elegi dan romansa sebenarnya adalah yang paling komersil dipahami dan dibuat oleh banyak orang. Tetapi ia juga menjadi puisi paling hebat dan disukai tanpa adanya penyekat. Simak saja puisi Kahlil Gibran yang terus menggema sampai saat ini. Begitu pula dengan puisi dari penyair besar Indonesia—Sapardi Djoko Damono—yang berjudul “Hujan Bulan Juni”. Betapa puisi ini begitu menggema di mana-mana. Lihat pula puisinya yang berjudul “Aku Ingin”.

Puisi romansa ini bahkan hampir selalu menghiasi kartu-kartu undangan pernikahan, seolah puisi ini adalah pintu kepuitikan awal bagi setiap pasangan yang ingin memasuki gerbang perkawinan.

Lain pada itu, film AADC (Ada Apa dengan Cinta) meledak juga karena kekuatan unsur puisi yang ditulis oleh penyair Aan Mansyur. Ini membuktikan bahwa puisi bukan barang milik mereka-mereka saja (yang berkecimpung di dalam dunia sastra), tetapi juga bisa milik umum yang bisa dinikmati oleh siapa saja.

Di dunia maya, ada banyak penyair dari kalangan tua maupun muda yang bermunculan dengan membawakan napas romansa dan elegi dalam puisinya. Kebanyakan dari mereka menulis puisi sebagai pelepas penat dan rasa sesak di dada. Sebagian yang lain adalah penyair yang benar-benar serius dan berniat untuk membagikan karya mereka.

Salah satu penyair berbakat yang serius menulis puisi ber-genre ini adalah Hendrik Candra atau Mujahid Berpena dan Atsuka D. Mereka begitu intens dan lincah ketika menuliskan puisi atau kalimat-kalimat puitis yang membawa ruh luka dan harap ini. Sebagian mereka tulis dengan perasaan yang menggebu-gebu, sebagian yang lain ditulis dengan rasa yang berdarah-darah. Tidak jarang kita juga diajak untuk merenung dan bercermin atas gambaran-gambaran kepedihan dari cinta bertepuk sebelah tangan yang mereka sajikan seperti pada puisi berikut:

Engkau

Engkau adalah sesuatu
yang menjelma kehilangan
Pada langit duniaku yang gelap;
sedari aku mati kemarin.

Engkau adalah bunga
yang menjelma layu pada padi
Gagal panen di ladang hatiku
yang kutanam hanya namamu.

Engkau adalah semilir angin
yang menjelma sunyi
Tak lagi menenangkan;
kau jadi sebab lukaku yang paling dalam.

Engkau adalah mata kehidupan 
yang menjelma pedang kematian
menjadi ruhku kemarin;
dan hari ini kau bunuh aku
dengan tatapanmu yang dingin.

Lampung, 02 Februari 2019

(Baca hal. 79 di buku Luruh)

Dari setiap kekaguman, akan memunculkan sebuah harapan. Jika harapan yang muncul tidak menemui sebuah penerimaan, maka rasa pedih sudah pasti ada di dalamnya. Karena hal ini, ada banyak orang yang berseloroh, “Berharap pada manusia adalah patah hati yang disengaja." Selorohan ini merupakan ungkapan kebenaran dari makna sebuah harapan. Di mana manusia tidak selayaknya menggantungkan harapan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala; Sang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah.

Pada cermin hatimu; lihatlah!
Kamu bukankah masih bernapas
saat membaca tulisan ini?
Apakah, saat dia meninggalkanmu,
Napas dan detak jantung juga meninggalkanmu?
Tidak, bukan?
Ingatlah! Tuhan yang memberimu hidup,
Bukan dia yang telah mencampakkanmu.

(Baca hal. 63 di buku Luruh)

Jika kita lihat dari pandangan psikologi, banyak sekali literatur yang menerangkan efek buruk dari patah hati. Sebagai contoh, banyak kasus yang terjadi dengan alasan patah hati, salah satunya bunuh diri. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak, sepanjang Januari sampai Juni 2012 hingga Maret 2020, sudah ada puluhan kasus bunuh diri dengan korban 80% adalah remaja berusia 13-17 tahun.

Selain bunuh diri, reaksi akibat putus cinta adalah katarsis buruk seperti agresi yang diarahkan kepada seseorang yang membuat cintanya tertolak. Salah satu kasusnya bukan hanya melukai, melainkan juga berusaha membunuh. Seperti yang terjadi kepada Trisna Juwita alias Dede Tresnawati (36) yang dicekik hingga tewas oleh TR (27) karena menolak cintanya lantaran sang pemuda hanyalah seorang pengangguran.

Dalam pandangan Sigmund Freud, manusia yang memiliki masalah akan cinta diistilahkan dengan “Tragedi Eros”, suatu penyimpangan dari hakikat manusia yang selalu ingin intim dengan sesama. Peradaban tercederai dan insting penyatuan ditolak atau menolak. Sehingga mereka yang mencintainya tertolak atau hasratnya dikecewakan. Hasrat yang bersumber dari insting keintiman merasa kecewa dan akhirnya bertindak berutal, seperti; membunuh, melukai, menyakiti, dan berperilaku menyimpang.

Padahal cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang mampu memelihara apa yang dicinta, serta dapat merubah ke arah yang lebih baik. Kesadaran akan mencintai seseorang bukanlah hal yang salah, tetapi adakalanya kita pun harus sadar bahwa; Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Seperti dalam karya berikut:

Pada cermin hatimu; lihatlah!
Doamu di sepertiga malam,
telah dijawab Tuhan.
Bukankah pintamu diberi jodoh yang terbaik?
Dia pergi artinya bukan yang terbaik untukmu.
Setelah ini, jangan cari aku.
Sebab menggenggam cinta sendirian,
semenyakitkan ini.

(Baca hal. 50 di buku Luruh)

Dan simak pula puisi berikut ini:

Pergi

Semisal embun; ia raib pada penghulu hari
Menjelma kenangan yang perlahan dilupakan
Hilang, pudar, pergi, dan tak kembali
Lalu setelah pergi; selalu ada rindu
Yang menjajah dua hati
Atau keadaan paling nelangsanya adalah rindu
Yang dimiliki sepihak saja
Ingin; tapi tak diinginkan kembali
Air mata luruh tanpa arti tanpa cita-cita
Yang ada adalah usaha-usaha menghibur diri
Yang ada hanyalah bicara pada langit; berbisik ke bumi
Sembari hati lebam ditikam sakitnya
Menggenggam cinta sendiri
Menyerah; pada akhirnya menjadi pilihan paling arif
Memilih hidup setelah patah;
Memilih usaha merdeka setelah biru-hitam terjajah 

Lampung, 18 Mei 2019

(Baca hal. 52 di buku Luruh)

Sebuah katarsis dikatakan buruk atau berbahaya jika merugikan diri sendiri, orang lain dan dilakukan secara berlebih-lebihan. Katarsis buruk sesungguhnya tidak melegakan hati, ia hanya mengalihkan dan pasti suatu saat akan muncul pelbagai efek burung yang terus menyerang. Hendrik Candra (Mujahid Berpena) dan Atsuka D. secara tidak langsung memberikan sebuah contoh penerapan katarsis baik, di mana mereka menuangkan segala isi hati dan perasaan atas sebuah kekecewaan ini ke dalam puisi dan menjadikan segala pedih dan perih itu menjadi maha karya buku kolaborasi berjudul “Luruh” ini.

Akhirnya, keseluruhan buku ini bermuara pada wilayah keagamaan yang hubungan transendensinya akan menuntun cinta pada yang hak, juga menuntun kita untuk belajar mencintai dengan segenap syukur dan ikhlas atas sebuah perpisahan.

Semogaku 

Pada suatu hari
Ketika aku telah jauh meninggalkanmu
Aku harap kamu akan baik-baik saja
Selayaknya burung camar
yang bebas di sisi lautan

Ketahuilah, aku terluka
tapi aku tak membenci
Aku kecewa tapi tak menyimpan
dendam di hati.

Demi masa, yang pernah kita lalui
ada engkau dan aku di dalamnya
aku maafkan segala duka lara yang kau beri
aku ampuni dosa-dosamu padaku
yang ujungnya tak terpatri

Pada suatu hari
Bahagiamu semoga tersemogakan
Dan engkau tak terluka sebagaimana aku
Sebagaimana setia yang kau belas
dengan dusta-dusta

Sebagaimana tulus
yang tak benar-benar kau percaya
Semoga lelakimu tak seburuk aku
Yang tak pernah bisa membuat hatimu
Tenang dan menetap hanya untukku

Lampung, 20 Juni 2019

(Baca hal. 114 di buku Luruh)

Referensi buku:
Berpena, Mujahid dan Atsuka D. 2020. Luruh (Mencintaimu, Aku Rapuh). 2020. Lampung: Indie Digital Media (IDM) Publishing.
Pengantar Filsafat Umum karya Nuraini Soyomukti.

Referensi internet:

0 Response to "MEMBACA “LURUH” SEBAGAI TERAPI PATAH HATI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel