-->

(Cerpen) Sajadah Penantian

Sajadah Penantian
Oleh: Siti Munawaroh


Bicara perihal waktu, aku tidak pernah memihak pada salah satu waktu. Fajar memberikan cahaya semangat untuk memulai hari. Siang dengan teriknya mentari, melatih ego diri. Senja dengan segala kehangatannya, mengajarkan bagaimana rasa menunggu, lalu kehilangan. Malam dengan miliaran bintang dan hanya satu bulan yang memberikan keindahan pada kegelapan. Hujan yang mengajarkan kita akan arti perjuangan, tetap mengulangi meski pernah merasakan jatuh untuk yang kesekian kalinya. Bagiku, semua waktu itu indah. Hanya saja, bagaimana kita menciptakan peristiwa yang dapat terkenang dan dikemas dalam memori kehidupan dengan baik dan membekas.
Shyam[1] yang terhias kilauan cahaya dari bintang bertemankan rembulan. Kini selalu menjadi atap peraduan. Teriring sarayu[2] menerpa tubuh yang kian rimpuh.[3] Segala anca[4] yang datang memancang,[5] kutebaskan dengan pedang keberanian dan keinginan. Jutaan kali, dahi dan lutut ini bersimpuh; bersujud kepada-Mu. Tengadah kedua tangan mungilku ini, temani diri ‘tuk lambungkan doa pada payoda.[6] Kerap kali kusebutkan ia, pada sela-sela kata yang telah tertata.
Tuhan! Pertemukanlah aku dengannya, segera!
Kalimat itulah yang kerap kali kuucapkan, lirih. Terdengar samar di telinga. Dengan sejuta sujud malamku, ada rasa yang kian menggebu dalam qalbu[7].
Aku, Aisyah, putri sulung dari Ayah dan Ibu yang kerap kali dipanggil Aish. Wanita yang kali ini sedang dalam masa penantian sosok pria, bukan hanya dalam bayangan apalagi dalam angan-angan. Ya! Aku benar-benar menginginkannya datang. Siapapun itu. Bagaimanapun kamu nantinya, kamu adalah yang terbaik dari Tuhan yang dikirimkan untuk menyempurnakanku. Percayalah! Aku sedang mempersiapkannya dan selalu berdoa pada Allah; Sang Pencipta. Semoga di antara luasnya bumi ini, kamu pun sedang mengupayakannya. Hingga kelak, kita dipertemukan pada ikatan pernikahan.
***
Malam itu, bukan alam tak mendukung. Langit menghitam tanpa hadirnya bintang. Rintikan air hujan telah membangunkanku. Tepat di sepertiga malam, tiap tetesnya tersusun rapi; sesuai dengan waktunya masing-masing. Semua yang ada di bumi sudah teratur sesuai dengan ketetapan-Nya. Tidak ada kata terlambat, kita dapat memulainya sekarang. Jika sudah seperti ini, haruslah kuatkan iman agar tak lagi dapat terhalangi. Kupaksakan diri untuk berdiri, berjalan perlahan menuju tempat wudu.
Dinginnya air dan udara, terkadang membuatku mengurungkan niat untuk melaksanakan salat malam. Bisa jadi, itu salah satu cara setan untuk menggoda manusia agar tak melaksanakan niat baiknya. Dengan segala niat dan keinginan, tak ada alasan lagi untuk bermalas-malasan mengerjakannya. Setelah dalam keadaan wudu, aku segera melaksanakan delapan rakaat itu untuk dua kali sujud dalam satu salam.
Isak tangis selalu mengiring tiap doaku. Teringat betapa banyak kesalahan dan dosa yang telah kubuat, tetapi masih dengan lancarnya kuulangi. Di atas sajadah merah itu, kubincangkan semua pada Tuhan, tentang apa yang dirasa. Pada zat yang ada meski tak tampak; Tuhan Maha segalanya. Tidak jarang isak tangis menemani sujudku, mengalir dan membasahi pipi.
Malam itu benar-benar tidak tahu kalau ibu memerhatikanku. Duduk termangu di kursi yang menghadap ke arah musala di rumah kami. Perlahan, ia mendekat. Kusadari lewat suara langkah kakinya yang kemudian tangannya memegang pundakku.
“Mbak, kamu kenapa? Ndak ono opo-opo, kan?”[8] tanya ibu, sembari mengusap bulir air mata yang masih tersisa di pipi.
Mboten nopo-nopo kok, Bu.[9] Aish hanya terharu dengan yang sudah Allah berikan kepada kita.” Aku mencoba menjawabnya dengan tenang, meski kegundahan itu semakin tak tertahan.
Uwis,[10] Mbak, pasrahkan saja kepada Allah. Kamu percaya, kan, dengan kuasa Allah? Boleh meminta, merengek, dan memelas kepada-Nya, tapi kita tidak boleh rapuh. Katakan semua pada-Nya, pasrahkan, dan insya Allah diberikan jalan terbaik.”
“Iya, Bu. Akan kucoba untuk tidak lagi menangis seperti ini. Aish percaya, kok, dengan ketetapan Allah,” jawabku. Lalu, ibu memeluk anak gadisnya ini dengan pelukan hangat, mengusap kepala, menenangkan.
“Mbak, jodoh, rezeki, dan kematian sudah Allah tuliskan. Kita harus bersabar akan semua itu. Semua manusia memiliki masa masing-masing. Ada yang masih usia delapan tahun sudah meninggal, ada yang berusia tujuh belas tahun sudah menikah, dan ada juga yang masih usia muda sudah sukses. Kita harus tetap bersyukur atas apa yang Allah berikan; masih memiliki keluarga utuh dan tinggal di tempat yang nyaman. Di luaran sana, banyak yang menginginkan posisi seperti kita ini, Mbak. Mereka tidur hanya beralaskan koran, makan hanya satu bungkus nasi, itu pun untuk tiga kali makan.”
“Iya, Bu, aku mengerti. Hanya saja, aku yang kurang bersyukur. Tapi, Bu! Aish juga menangis bukan karena rengekan itu, kok! Aish menangis karena tersadar betapa besarnya kuasa Allah yang ada di dunia ini, juga perihal sosok yang akan mendampingi Aish nantinya.” Aku mencoba menjelaskan, tetapi tak sanggup untuk mengatakannya lagi.
“Iya, Mbak. Ibu tahu. Yang terpenting sekarang, kita sudah ada ikhtiar juga doa yang tidak pernah lepas, ya! Tuhan tidak pernah tidur, kok! Suatu saat nanti, jika kamu sudah benar-benar siap, maka akan dipertemukan dengan sosok yang dinantikan sekarang ini,” ucap ibu padaku yang kembali mengeluarkan air mata. “Satu lagi, jangan pernah iri dengan keadaan orang lain. Adil bukan berarti sama rata dalam hal jumlah, ya, Mbak! Adil itu tentang bagaimana porsi seseorang. Sesuai dengan porsi masing-masing. Pelajaran kecil tentang adil, misalnya, kamu dengan keponakan ketika ibu beri uang saku, apakah ibu harus memberikan uang yang sama dengan Dodo, ponakanmu itu? Tentu tidak, kan? Ibu pasti akan memberikan uang sesuai dengan kebutuhan kalian. Itu yang dinamakan adil. Soal jodoh juga, jika kita belum siap, maka Allah juga belum mendatangkannya. Oleh karena itu, kita butuh persiapan, bukan hanya materiel tetapi juga ilmu dan mental, ya, Mbak!” Nasihat demi nasihat, ibu utarakan pada malam itu.
Ibu! Wanita luar biasa yang pernah kutemui. Tidak peduli apa yang sedang dirasakan, tetapi ia berusaha menampakkan wajah baik-baik saja di depan keluarganya. Wanita yang selalu menasihati anaknya, meski berulang kali; ia tetap sabar untuk mengulanginya lagi. Aku tahu, sebenarnya ada tekanan psikis yang ibu rasakan. Tidak hanya satu atau dua orang yang menanyakan kapan anak gadisnya ini dipinang oleh lelaki pilihannya, tapi ibu berusaha untuk tetap tabah menjalani, karena ibu percaya tentang ketetapan-Nya, sesuai dengan apa yang diucapkan.
Setelah melihatku lebih tenang, maka ibu menyuruhku untuk melanjutkan tidur supaya tidak tertinggal salat Subuhnya. Begitupun ibu, ia juga bergegas ke kamar untuk kembali merajut bulu mata.
Malam itu, dengan serangkaian cerita. Ada banyak hal yang dapat kupetik. Aku akan mencoba lebih sedikit sabar untuk hal yang tidak sederhana ini.

***

Cerpen Sajadah Penantian, ditulis tanggal 8 Mei 2020
Penulis : Siti Munawaroh
Editor : Princess Meymey




[1] Gelap/hitam
[2] Hembusan angin
[3] Sudah tua sekali
[4] Rintangan
[5] Mem+Bancang = memancang = menahan/merintangi
[6] Awan
[7] Hati
[8] Tidak ada apa-apa
[9] Tidak apa-apa, kok
[10] Sudah

0 Response to "(Cerpen) Sajadah Penantian"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel