TAK PERNAH USAI
Minggu, 17 Mei 2020
1 Comment
![]() |
Dokumen Pribadi |
Aku terus saja menatap langit meski mendung menyelimuti, menaruh asa pada pencipta alam semesta, tetapi kecewa kerap kali menyapa dengan hebat. Hari ini langit kembali menangis, entah apa yang ditangisi. Sambil menikmati sepotong roti dan meneguk kopi hangat; dari jendela, kuhitung tiap tetesan yang turun sambil berkata, "Hujannya kapan berhenti?"
Beberapa menit kemudian, saat kuteguk tetesan terakhir dari kopi rindu yang tak tahu buat siapa, hujannya sudah reda tapi bianglala masih malu menampakkan diri. Tak peduli akan (r)asa yang menyiksa kalbu.
Hujan kali ini sisakan rindu tanpa temu. Untuk ribuan detik yang telah berlalu menjelma dalam hitungan waktu. Renjana itu kian menyiksa kalbu. Aku yang hanya bisa bersabar dengan waktu dan kamu yang kian hibuk lintasi anganku.
Sore itu, bersama dengan anila yang hilir-mudik menerpa kulit. Mega yang tetap hitam tanpa rintik hujan juga warna-warni lingkar bianglala yang tak jua menyapa.
Kukatakan pada bekas rintik air hujan yang tersisa di daun jendela, lirih.
"Tuhan! Aku rindukan dayita dalam bayang itu. Jadikanlah ia nyata sehingga dapat kutepiskan semua rasa padanya."
Laporan cuaca baru saja dibacakan oleh rindu. Hujan sedang turun di beberapa tempat termasuk di sepasang aksa ini. Hujan yang tinggal rintik, ia turun hanya untuk menghapus kenangan yang berserakan di jalanan. Tapi jangan gamang meski hujan di bulan ini membawa dingin, aku akan tetap mencintaimu dengan hangat, melewati waktu sembari menikmati kopi yang lebih pahit dari rindu yang tak tersampaikan.
Di bawah nabastala yang belum cerah dan ambu tanah basah, rindu masih menyelimuti tanpa tahu arah.
***
Musim hujan telah berlalu, tapi rintiknya masih tersisa. Ada gelisah yang tak menentu, kala hadirmu masih menjadi ilusi.
"Tunggu aku di sana," katamu, terus saja meyakinkanku dalam lamunan.
Kali ini, kurenungi kisah yang entah akan berujung bagaimana. Sambil menatap senja, kutitip rindu pada seseorang tanpa nama.
"Kamu! Siapa kamu? Siapa namamu?"
Banyak tanya yang kusampaikan pada senja yang hampir pergi. Gelebah rasa di dada, tapi tak jua kutemukan jawaban.
Saban hari, hanya lantai di sudut kamar itu yang jadi saksi bisu. Jua bata merah yang telah tersusun rapi, menjadi dinding istana megah bagi kami. Merekalah saksi akan semua pintaku pada Tuhan. Tak jarang pula tetesan air yang mengalir dari pelupuk mata, terjatuh di kain yang menjadi alasku bersujud.
Terkadang, diri ini juga rasakan malu, bahkan tak tahu malu! Aku! Manusia yang kerap kali berbuat dosa tapi juga ada jutaan asa yang selalu kupinta pada-Nya. Ada harapan pada secarik skenario Tuhan yang barangkali berpihak pada kita. Dipertemukan untuk membangun sebuah rasa. []
Catatan:
Prosa singkat atau mungkin bisa disebut Fiksi Mini di atas ditulis oleh Irma Dewi Meilinda, Siti Munawaroh, dan Nuranisa Oktafiantri pada hari Minggu, tanggal 17 Mei 2020, yang bertepatan pada Hari Jadi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Hari Buku Nasional. Harapannya, semakin banyak penulis-penulis buku yang memberikan bahan bacaan bermanfaat, mengedukasi untuk hal-hal positif. Pun semakin banyak masyarakat yang mencintai buku. Menjadikan buku sebagai pedomannya untuk menapaki jalan terjal di dunia ini.
Dirgahayu Perpustakaan Nasional RI
Selamat Hari Buku Nasional
17 Mei 1980 - 17 Mei 2020
17 Mei 1980 - 17 Mei 2020
Salam pena kreatif
Salam literasi
Keluarga Besar KPKers Lampung
Jangan lupa mampi record prosanya di
Versi Irma https://youtu.be/psPIgMYNYVo
Versi Siti https://youtu.be/3cz_RkpFl34
Jangan lupa mampi record prosanya di
Versi Irma https://youtu.be/psPIgMYNYVo
Versi Siti https://youtu.be/3cz_RkpFl34
Omg❤❤❤
BalasHapus