-->

(Cerpen) Surat Cinta Raja Fir’aun untuk Gian


Dentuman suara klakson terdengar dari segala penjuru. Penantian ini semakin lama karena keberalanjutan dari proses lancarnya jalanan masih mengawang. Kata orang-orang yang sedang nongkrong di warung pinggir jalan, di ujung jalan sana kecelakaan maut antara truk fuso dengan pengendara sepeda motor.

Setelah mendengar potongan kalimat dari orang-orang itu, tak akan tertulis lagi lanjutan dari kisah kecelakaan yang pernah terjadi.. 

Namanya Gian! Orang-orang lebih sering memanggil dengan sebutan ‘Gi atau Iyan’. Jika bertemu dengan Gian, maka seperti ada rasa ingin mencubit pipi mungil Gi setiap waktu. Ia masih bersekolah SD, jarak antara SD dengan rumah Gian tidak terlalu jauh, tetapi jarak yang tidak terlalu jauh tersebut sering membuat kaki kecil Gian sakit. 

Sepulang sekolah hari ini, Gian duduk di kursi depan gerbang SD-nya. Sebungkus cokelat yang dibeli tadi pagi dimakan di tempat itu. 

“Gian belum pulang?” tanya seorang guru sambil menuntun sepeda tua kebanggannya.

Gian menggeleng sambil mengunyah cokelatnya.

“Gian sedang menunggu ayah, ya?”

Gian mengangguk, lalu memalingkan wajah ke arah teman-teman yang sedang dijemput oleh orang tua. Sekitar dua puluh menit kemudian, Gian dikalahkan oleh penantian, lalu berjalan sendirian pulang ke rumah. Terkadang hal inilah yang membuat Gian mendapat panggilan khusus oleh teman-teman; ‘Si Pemberani’. Ia menyusuri pinggiran jalan itu, sesekali melompat-lompat sambil menjaga keseimbangan agar tak terjatuh ke jalan. Ibu-ibu warung di sepanjang jalan itu hafal dengan teriakan bahkan suara langkah Gian. Mereka selalu memberi uang saku, jajan, minuman, kado, dan juga mencubit pipi Gian. Mereka bisa memilih apa saja yang ingin dilakukan kepada Gian.

Tapi untuk kali ini, Gian mempercepat langkah karena tahu jalanan sedang tidak baik seperti hari yang lalu. Ia tak suka kebisingan dari bunyi klakson mobil yang selalu dihidupkan oleh supir-supir yang tidak tahu diri.

Belum sempat Gian sampai ke lokasi kejadian kecelakaan seperti yang orang-orang ceritakan, Gian berbelok ke arah jalan kiri. Jalanan lurus yang terbentang dengan batuan kerikil tertabur di atas, seolah butiran kismis yang melengkapi kue buatan ibu, pertigaan di ujung jalan lurus itu merupakan jalan utama menuju istana kecil Gian. Gian melangkah pelan-pelan.

“Gian, baru pulang ya, Nak?” sapa seorang Ibu di depan jalan sambil membawa tas belanja yang masih kosong.

Gian mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan seolah tak peduli dengan sapaan ibu itu. Ia berlari pelan, tetapi tiba-tiba Gian terjatuh. Sebuah bola mengenai kepala Gian, lalu jatuh diam di dekat tubuh Gian. Tangan Gian memegang dahinya. Matanya berkunang. Perlahan ia sentuh lutut yang tergores.

Terdengar suara gelak tawa yang begitu keras; sangat dekat. Ada lima orang yang begitu usil menjaili Gian.

“Rasain kamu, Gian. Emang enak, kena bola,” kata salah satu anak yang tidak terlalu jelas asal-usulnya.

Gian menangis pelan dan diam sejenak.

Anak-anak tadi masih tertawa bahagia. Gian menyeka air mata, lalu berusaha bangkit untuk berdiri. Anak-anak yang mengerjai Gian sudah pergi. Gian berjalan perlahan sambil menangis. Gian enggan membuka tabir tentang apa yang sudah dialami kepada orang-orang. Untung saja suasana saat itu sedang sepi, Gian menghela napas pelan.

Di pertigaan, ia berbelok ke kanan. Bagian paling ujung jalan utama adalah semak belukar dan lapangan yang dibatasi oleh tembok kokoh yang panjang dan di balik tembok tersebut, terhampar lahan yang orang bilang akan ada seorang pejabat kota membangun pusat perbelanjaan.

Rumah yang tidak terlalu besar berdinding retak itu berhiaskan cat kuning yang mengelupas di beberapa bagian. Pohon mangga besar terikat sebuah ayunan ban menambah keserasian rumah Gian. Sekitar lima menit dari pengkolan utama, rumah Gian sudah terlihat di kanan jalan.

Di seberang jalan depan rumah, hanya beberapa rumah yang sudah ditempati dan sisanya bangunan yang sedang dibangun atau sengaja terbengkalai.

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh. Sudah pulang, Nak?” tanya seorang wanita yang tersenyum kepada Gian, sambil menjawab salam. Wanita itu duduk di kursi roda, ditemani buku-buku agama favorit.

“Gian sudah makan belum, Nak? Dan kenapa hari ini pulangnya terlambat?”

Gian menggeleng. Ia berlari ke meja belajar, meletakkan tas. Lalu kembali lagi ke wanita itu sambil menggenggam buku. Gian menangis, menadahkan mukanya ke pangkuan sosok wanita yang tak lagi muda.

“Gian kenapa, Nak?” Gian menangis, lalu berusaha menunjukkan luka di lututnya.

Wanita itu terdiam dan ikut menangis menyaksikan luka di lutut anak kesayangannya. Ia memeluk dan mencium tanpa melepas tubuh Gian sedikitpun. Gian menyeka air matanya. Tak lama kemudian, wanita tersebut melepas tubuh anaknya. Gian duduk di sofa yang sudah kusut di dekat kursi roda ibunya. Ia lalu menyodorkan buku yang digenggam.

“Kisah Suri Tauladan Nabi Musa a.s.”

Begitulah judul yang tertulis di sampul buku tersebut. Ibunda Gian pun membuka lembar halaman satu per satu, sambil meresapi isi yang disampaikan dalam buku tersebut.

“Baik. Ibu akan menjelaskan kisah Nabi Musa a.s. Gian! Nabi Musa adalah nabi yang cerdas. Kamu tahu, kan?" tanya ibu, menghentikan sejenak ceritanya.

Gian menggeleng.

"Pada awal masa kelahiran Nabi Musa a.s, sedang gencar pembunuhan terhadap bayi laki-laki oleh seorang Raja. Namanya adalah Fir’aun. Karena menurut tafsiran mimpi Raja Fir’aun, suatu saat akan lahir seorang bayi laki-laki yang dapat mengalahkan Fir’aun. Sejak itulah, setiap bayi laki-laki yang lahir, maka akan dibunuh olehnya,” lanjutnya.

Tiba-tiba wanita itu menangis dan mengarahkan kursi roda agak mendekat ke arah Gian. Ia memeluk Gian.

“Gian! Terima kasih karena kamu tetap ada di sini. Dulu kamu hampir bernasib sama dengan bayi laki-laki yang dibunuh oleh Fir’aun. Ayahmu akan menjualmu ke seorang saudagar, sedang umurmu baru dua tahun. Saudagar itu bahkan berani membayar mahal, Nak. Ibu tahu bahwa kamu akan dioperasi dan organmu akan diambil oleh saudagar itu. Entah apa yang harus ibu lakukan sekarang. Ayahmu sudah genap tujuh tahun mendekam di penjara. Ibu tahu kenapa kamu pulang terlambat. Pasti kamu menunggu ayah kan, Nak? Sudah ibu bilang, tidak usah, Nak. Hal itu hanyalah sia-sia. Gurumu sering menelepon ibu untuk memberitahukan hal ini, Nak.” Cairan bening kembali menetes di pipi wanita berkulit putih itu.

Gian hanya diam dan tak menanggapi serius celotehan ibu. Ibu Gian mengerti keadaan putra semata wayang yang selalu merindukan kasih sayang dari seorang ayah. Wanita itu melanjutkan kembali kisah Nabi Musa a.s.

“Raja Fir’aun adalah raja yang tega memerintah dan menyiksa kaum lemah di negeri hanya karena tidak menuruti apa yang diucapkan oleh dirinya.”

Ibu Gian menangis tersedu-sedu. Ibu Gian menutup buku yang tengah dibaca untuk diceritakan kepada Gian. Gian menoleh sendu dan diam.

Tiba-tiba, setelah sekian lama, akhirnya Gian mengucap satu, dua patah kata.

“Ya, Tuhan! Terima kasih telah memberikan nikmat ini kepada anakku. Sudah sekian lama ia diam tanpa mengucap satu patah kata pun bahkan tak pernah terdengar mengeja huruf apa pun. Nak! Tetapi ibu ingin kamu tetaplah menjadi bisu seperti kemarin. Ibu tak ingin keluar dari mulutmu kata-kata yang dapat menyakiti bahkan menggunjing orang lain, apalagi sampai semena-mena seperti Fir’aun. Berdoalah lewat hatimu dan doakan ibu juga, ya!”

Gian mengangguk, lalu memeluk ibunya.

“Raja Fir’aun adalah orang yang menganggap dirinya sebagai Tuhan karena kesombongan terhadap apa yang sudah dimiliki.”

Wanita itu termenung.

“Nak! Jika suatu saat nanti kamu menjadi orang besar, tetap rendah hati kepada orang-orang di sekitarmu, ya! Jangan bersikap sombong, apalagi sampai kelewat batas. Nak! Akan menjadi siapapun kamu nantinya, kamu hanyalah seorang putra kecil ibu yang dulu pernah merindukan kasih sayang seorang ayah dan senantiasa berdoa untuk ibu."

Wanita itu lalu memeluk Gian.

“Gian! Ini buku catatan tebal dan bulpoin untukmu," kata ibu sambil menyodorkan ke Gian.

Bukankah kamu telah belajar merangkai huruf dan menulis? Tulis apa saja yang engkau ingin katakan kepada Ibu ataupun guru dan teman-temanmu di sekolah. Silakan gunakan buku ini sepanjang hidupmu, jika sudah sampai lembar terakhir, maka segera beritahu ibu, ya! Nanti ibu akan belikan kembali.”

Gian tersenyum menerima hadiah dari ibunya. Lalu menulis di halaman pertama.

Gian sayang Ibu.
Gian akan bahagiain Ibu.
Jangan tinggalkan Gian ya, Bu.

Wanita itu menangis kembali dan memeluk Gian dengan sangat erat.

Tak lama kemudian, terdengar suara dari pintu rumah yang terbuka lebar.

"Silakan masuk."

Tamu tersebut memunculkan tubuh, lalu masuk ke dalam. Tak pelak, wanita itu kaget karena tamunya adalah seseorang polisi.

“Apakah Ibu istri dari Pak Anwar?”

****

Author : Prayoga Ramadhan
Editor : Princess Meymey

0 Response to "(Cerpen) Surat Cinta Raja Fir’aun untuk Gian"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel